Jumat, 02 Mei 2014

HARDIKnas? (Gambaran Ngawurku Tentang Pendidikan Dasar Indonesia)

~Hari Pendidikan Nasional, hari dimana pendidikan hingga hari ini tetap tidak merata secara nasional, dan dirayakan sebagai sebuah pencapaian~


Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, hari dimana Ki Hajar Dewantara (tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa) lahir ke dunia.
Sekilas tentang Ki Hajar Dewantara,  beliau dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia,  lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Filosofinya, tut wuri handayani ("dari belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Apa kabar pendidikan Indonesia hampir di umurnya yang ke 69 tahun ini? Jelas lebih maju dari situasi saat itu (1945). Dengan konsep dan kuikulum baru, pemerintah berharap generasi penerus akan mampu belajar dengan inisiatifnya sendiri melalui konsep belajar dimana siswa harus didorong lebih aktif dan kreatif. Hal tersebut dibentuk mengacu kepada filosofi yang Ki Hajar cetuskan bahwa siswa harus didorong agar mereka termotivasi menggali potensi serta memperkaya ilmu demi masa depan yang lebih baik.
Namun pemerintah baru mencoba membuat rata konsep, belum infrastruktur dan sumber daya pengajar. Belum semua pendidikan dirasakan kesamaan kualitasnya antar satu daerah dengan daerah lain. Sangat berbeda terutama masalah infrastruktur dan sumber daya pengajarnya. Jangankan berbeda pulau seperti membandingkan pulau Jawa dengan pulau Papua, satu provinsi saja belum tentu rata kualitasnya. Tidak ada jaminan sebuah kualitas pendidikan terjamin sekalipun wilayahnya dekat dengan ibu kota. Apalagi yang jauh bahkan berada di perbatasan dan pedalaman?

Lalu apa indikator bahwa konsep tersebut sukses diterapkan? Sulit untuk memantau tiap sekolah kecuali dengan patokan berapa nilai yang bisa dicapai  atau jumlah siswa yang lulus di suatu sekolah. Maka teciptalah singkatan yang paling banyak sibenci oleh pelajar, UN (Ujian Nasional). UN sebagai sebuah kegiatan fungsi evaluasi, sebagaimana tercantum pada UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 21 yang berbunyi : “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.”
UN sebagai “event evaluasi nasional” justru dianggap momok bagi para siswa. Diluar mata pelajaran yang diujikannya hanya beberapa, tipe soal dan kesamaan kualitas soal justru dipukul rata se-Indonesia. Apa jaminan pemerintah jika setiap siswa punya rata-rata kualitas pemahaman pendidikan yang sama, kalau infrastruktur yang ada saja tidak sedikit yang berbeda, bahkan kebanyakan cenderung jomplang tiap daerahnya? Siswa didorong (di Tut Wuri Handayanikan, heuheu) untuk bisa lolos UN, bukan bisa mendapat manfaat dari pendidikan. Maka tidak heran bila kecurangan UN selalu ada tiap tahunnya, meski tipe soal sudah ditambah hingga 20 tipe.  Akhirnya? Konsep buatan pemerintah tentang pendidikan yang berbudaya, bermoral, dan mengaitkan dengan nilai-nilai agama, hanya wacana kosong yang ditulis, menghabiskan biaya sana-sini.

Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional. Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan), khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Kalimat yang ditebalkan diatas bagi saya layak dijadikan pertimbangan bagi semua pihak yang ingin melihat pendidikan Indonesia membaik. Semua orang punya ketertarikan untuk belajar hal tertentu sesuai apa yang mereka butuh dan ingin. Berhak untuk mengembangkan diri adalah hak yang tidak boleh diganggu gugat, bukat dicekoki pengetahun semau pemerintah, yang ingin mengembangkan Indonesia berkembang pesat tanpa proses yang benar. “Bilang bisa beli dengan harga mahal, tapi tau kalo disaku cuma receh.” <== Persepsi saya tentang pemerintah yang ingin berkontribusi secara global.


Semoga pendidikan Indonesia semakin membaik, terutama setelah terpilihnya presiden baru nanti. Mari optimis, mari menuju keniscayaan (stay positive)….











Referensi :
  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Pendidikan_Nasional
  2. http://www.paudni.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2012/08/PP-no-19-th-2005-ttg-standar-nasional-pendidikan.pdf
  3. http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_20_Tahun_2003#Pasal_1

Tidak ada komentar :

Posting Komentar