Indonesia,
negara kepulauan yang berada diantara dua benua, negara yang menjadi salah satu
rute “ring of fire”, memiliki kekayaan alam yang melimpah. Indonesia tidak
hanya memiliki wilayah darat yang subur akan produksi pertanian, baharinya pun
sama kayanya. Bahkan ada yang menyebut jika Indonesia itu bukan negara
kepulauan yang dikelilingi lautan, tetapi lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Sudah terbayang bahwa Indonesia itu kaya akan hasil alam.
Di
Indonesia, ada lima pulau besar yang dijadikan pusat perkembangan berbagai
bidang dalam upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendistribusikan pemerataan
penduduk, mulai dari transmigrasi, pekerjaan, pendidikan, dll. Lima pulau besar
tersebut adalah Sumatra Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dari kelima
pulau tersebut, yang dirasa paling lambat penyebaranya adalah Kalimantan dan
Papua. Jika Kalimantan mungkin karena wilayah daratnya yang luas, sedangkan
Papua terkendala oleh jarak dari pusat (Jawa) ke Papua yang sangat jauh. Namun, jika Kalimantan masih dapat diupayakan
dengan cepat karena wilayahnya jauh lebih dekat dengan pulau Jawa. Hal ini
membuat distribusi ke pulau Papua terasa lambat.
Papua,
adalah sebuah pulau dengan kekayaan alam yang benar-benar melimpah. Bahkan,
katanya saingan kekayaan alam Papua hanya dapat disaingi oleh pulau Madagaskar
di benua Afrika sana. Namun jika melihat distribusi yang lambat dari
pemerintah, membuat rakyat Papua harus tetap bergerak tanpa ada pedoman yang
sesuai dengan zaman sekarang, terutama pendidikan. Apalagi, kondisi psikologis
masyarakat Papua yang sudah lazim memakai cara “kepal tangan” sebagai jalan
akhir untuk menyelesaikan masalah membuat kondisi Papua semakin merosot secara
pendidikan. Dan pada akhirnya, kekayaan alamnya cuma dapat diserap oleh asing.
Pada
beberapa periode yang lalu, mantan presiden Soeharto menandatangani
perjanjian hutang luar negeri kepada Amerika Serikat dengan jaminan pembayaran
hutang pertahun + dipersilahkan mendirikan perusahaan ‘pengeruk’ emas selama 40
tahun. Bayangkan mengeruk emas selama itu, akan berakhir kurang lebih pada
tahun 2030! Hal ini pasti membuat masyarakat Papua merasa diperalat tenaga dan
sumber daya alamnya. Apalagi dengan upah yang diterima per hari oleh buruh
perusahaan tersebut ‘katanya’ dikategorikan kecil.
Beberapa
saat yang lalu, demo penuntutan kenaikkan upah dilakukan. Namun hasilnya nihil
dan tidak ada titik temu. Hal ini yang mengawali gejolak Papua di awal bulan
Oktober 2012 kemarin. Para buruh mogok bekerja sebelum tuntutannya dipenuhi, mereka
berkumpul di pabrik dan menguasai wilayah tersebut,bahkan ada beberapa polisi
yang sampai disandra sebelum akhirnya ada lobi-lobi untuk melepaskan polisi
tersebut. Masalah belum berhenti disini, OPM (Organisasi Papua Merdeka) mungkin
sengaja memanfaatkan situasi dengan melakukan penembakan terhadap salah seorang
Kapolres di Papua. Hal ini membuat Pak SBY memberikan perintah untuk
mengamankan kembali Papua.
Sebenarnya
mengapa harus menunggu hingga ada konflik dahulu sebelum pemerintah turun
tangan? Padahal jika dilihat, ada dan tanpa konflik pun, masalah di Papua sudah
dan ada dan tidak ditanggapi secara serius. Konflik hanya letupan dari
masalah-masalah yang ada saja. Distribusi pendidikan, barang, komponen
pemerintahan di daerah (seperti Kepala Desa, kantor desa, dll) tidak sebanding
dengan pulau-pulau lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan pulau Kalimantan
pun, Papua kalah berkembang.
Sedih
melihat kondisi ini. Rakyat Papua sudah susah
payah bekerja fisik, karena sudah dapat ditebak buruh-buruh tersebut
memiliki pendidikan yang kurang dan tidak banyak memiliki keterampilan yang
mendukung mendapat penghasilan yang menunjang kehidupan sehari-hari. Jika
melihat orang-orang penting yang berada di perusahaan tersebut, antara orang
luar Papua atau bahkan orang asing. Seakan
manusia Papua tidak memiliki hak untuk berdiri di tanahnya sendiri.
Jika
melihat kondisi ini, rakyat Papua seakan dijajah oleh negeri sendiri, dengan
mempersilahkan orang asing seenaknya mengeruk kekayaan hasil bumi tanah Papua. Belum
lagi pajak per tahun yang diterima pemerintah kabarnya tidak sepadan dengan
hasil yang dikeruk selama ini. Ini bukan masalah Papua saja, jika melihat
tayangan yang muncul di televisi secara intens akhir-akhir ini, sudah jelas ini
masalah nasional dan mental bangsa. Jangan tergiur terhadap materi yang
diberikan asing yang didapat dihasilkan dari alam kita. Jika kita yang
memilikinya, berarti harus kita yang menikmatinya, jika pun harus ada investasi
asing, harus ada pembatasan yang jauh lebih ekstra dan dipantau dengan ketat,
tanpa ada main mata dan ‘kongkalingkong’.
Mudah-mudahan presiden yang terpilih tahun ini akan mampu menganggulangi permasalahan ekonomi dan kerakyatan yang ada Papua, Presiden yang mampu dijadikan acuan dan layak disematkan gelar Satrio Piningit yang mampu membebaskan Indonesia (pada umumnya) dari jeratkan kesengsaraan, ekonomi dan moral yang semakin menurun.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar