Selasa, 25 Februari 2014

Papua, Kaya Tak Bahagia


Indonesia, negara kepulauan yang berada diantara dua benua, negara yang menjadi salah satu rute “ring of fire”, memiliki kekayaan alam yang melimpah. Indonesia tidak hanya memiliki wilayah darat yang subur akan produksi pertanian, baharinya pun sama kayanya. Bahkan ada yang menyebut jika Indonesia itu bukan negara kepulauan yang dikelilingi lautan, tetapi lautan yang ditaburi pulau-pulau. Sudah terbayang bahwa Indonesia itu kaya akan hasil alam.
Di Indonesia, ada lima pulau besar yang dijadikan pusat perkembangan berbagai bidang dalam upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendistribusikan pemerataan penduduk, mulai dari transmigrasi, pekerjaan, pendidikan, dll. Lima pulau besar tersebut adalah Sumatra Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dari kelima pulau tersebut, yang dirasa paling lambat penyebaranya adalah Kalimantan dan Papua. Jika Kalimantan mungkin karena wilayah daratnya yang luas, sedangkan Papua terkendala oleh jarak dari pusat (Jawa) ke Papua yang sangat jauh.  Namun, jika Kalimantan masih dapat diupayakan dengan cepat karena wilayahnya jauh lebih dekat dengan pulau Jawa. Hal ini membuat distribusi ke pulau Papua terasa lambat.
Papua, adalah sebuah pulau dengan kekayaan alam yang benar-benar melimpah. Bahkan, katanya saingan kekayaan alam Papua hanya dapat disaingi oleh pulau Madagaskar di benua Afrika sana. Namun jika melihat distribusi yang lambat dari pemerintah, membuat rakyat Papua harus tetap bergerak tanpa ada pedoman yang sesuai dengan zaman sekarang, terutama pendidikan. Apalagi, kondisi psikologis masyarakat Papua yang sudah lazim memakai cara “kepal tangan” sebagai jalan akhir untuk menyelesaikan masalah membuat kondisi Papua semakin merosot secara pendidikan. Dan pada akhirnya, kekayaan alamnya cuma dapat diserap oleh asing.
Pada beberapa periode yang lalu, mantan presiden Soeharto menandatangani perjanjian hutang luar negeri kepada Amerika Serikat dengan jaminan pembayaran hutang pertahun + dipersilahkan mendirikan perusahaan ‘pengeruk’ emas selama 40 tahun. Bayangkan mengeruk emas selama itu, akan berakhir kurang lebih pada tahun 2030! Hal ini pasti membuat masyarakat Papua merasa diperalat tenaga dan sumber daya alamnya. Apalagi dengan upah yang diterima per hari oleh buruh perusahaan tersebut ‘katanya’ dikategorikan kecil.
Beberapa saat yang lalu, demo penuntutan kenaikkan upah dilakukan. Namun hasilnya nihil dan tidak ada titik temu. Hal ini yang mengawali gejolak Papua di awal bulan Oktober 2012 kemarin. Para buruh mogok bekerja sebelum tuntutannya dipenuhi, mereka berkumpul di pabrik dan menguasai wilayah tersebut,bahkan ada beberapa polisi yang sampai disandra sebelum akhirnya ada lobi-lobi untuk melepaskan polisi tersebut. Masalah belum berhenti disini, OPM (Organisasi Papua Merdeka) mungkin sengaja memanfaatkan situasi dengan melakukan penembakan terhadap salah seorang Kapolres di Papua. Hal ini membuat Pak SBY memberikan perintah untuk mengamankan kembali Papua.
Sebenarnya mengapa harus menunggu hingga ada konflik dahulu sebelum pemerintah turun tangan? Padahal jika dilihat, ada dan tanpa konflik pun, masalah di Papua sudah dan ada dan tidak ditanggapi secara serius. Konflik hanya letupan dari masalah-masalah yang ada saja. Distribusi pendidikan, barang, komponen pemerintahan di daerah (seperti Kepala Desa, kantor desa, dll) tidak sebanding dengan pulau-pulau lainnya. Bahkan, jika dibandingkan dengan pulau Kalimantan pun, Papua kalah berkembang.  
Sedih melihat kondisi ini. Rakyat Papua sudah susah  payah bekerja fisik, karena sudah dapat ditebak buruh-buruh tersebut memiliki pendidikan yang kurang dan tidak banyak memiliki keterampilan yang mendukung mendapat penghasilan yang menunjang kehidupan sehari-hari. Jika melihat orang-orang penting yang berada di perusahaan tersebut, antara orang luar Papua atau bahkan orang asing. Seakan  manusia Papua tidak memiliki hak untuk berdiri di tanahnya sendiri.
Jika melihat kondisi ini, rakyat Papua seakan dijajah oleh negeri sendiri, dengan mempersilahkan orang asing seenaknya mengeruk kekayaan hasil bumi tanah Papua. Belum lagi pajak per tahun yang diterima pemerintah kabarnya tidak sepadan dengan hasil yang dikeruk selama ini. Ini bukan masalah Papua saja, jika melihat tayangan yang muncul di televisi secara intens akhir-akhir ini, sudah jelas ini masalah nasional dan mental bangsa. Jangan tergiur terhadap materi yang diberikan asing yang didapat dihasilkan dari alam kita. Jika kita yang memilikinya, berarti harus kita yang menikmatinya, jika pun harus ada investasi asing, harus ada pembatasan yang jauh lebih ekstra dan dipantau dengan ketat, tanpa ada main mata dan ‘kongkalingkong’.
Mudah-mudahan presiden yang terpilih tahun ini akan mampu menganggulangi permasalahan ekonomi dan kerakyatan yang ada Papua, Presiden yang mampu dijadikan acuan dan layak disematkan gelar Satrio Piningit yang mampu membebaskan Indonesia (pada umumnya) dari jeratkan kesengsaraan, ekonomi dan moral yang semakin menurun. 

   

Tidak ada komentar :

Posting Komentar